NAMA : Akbar Raharjo
 KELAS : 1ka14
NPM : 10111511
Mata Kuliah : Ilmu Sosial dasar
Mata Kuliah : Ilmu Sosial dasar
 Kolaborasi Gaya Hidup Remaja, Sastra, Media dan Internet  
              Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para  sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun.  Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra  seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen,  puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra  pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada  gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang  sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya.  
           Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para  kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah  sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak  pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang  juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan  secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan  tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil  remaja perkotaan sekarang.    
         Medium-medium ekspresi  kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih  merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang  terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis  sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi  besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk  mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka  tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms  romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga  sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan  sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan  mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan  sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap  yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik  berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman  secara keseluruhan.   
        Tentu masalahnya memang tak bisa  dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang  disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama  yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan,  sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi  Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai”  sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang  kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra.  Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada  teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk  mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang  kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia  tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah  ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi  tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja  dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu  pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis  muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan  seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX  Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga  kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah  diterbitkan.    
        Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis.  Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra  adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi  sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para  sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya  yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi  ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang  dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang  membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih  mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas  itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan  generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang  subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama  sekali berbeda.     
      Dalam gaya hidup remaja perkotaan  sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari  kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya  novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit  spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi  film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja.  Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja  perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra.  Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan.  Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan  karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik  adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja  popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun  belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap  tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang  patut diteladani di dunia sastra kita.   
       Sastra seharusnya  menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya  menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari  dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng,  menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak  men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar  apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada  satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu.  Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang  akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.     Gaya Hidup Remaja dan Media      Semua jenis media, baik itu Internet,  televisi, film, musik, maupun majalah, berpengaruh besar terhadap gaya  hidup kita masa kini. Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya  hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak  heran jika kita digiring menjadi sangat konsumtif.      
        Masa  remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai  mencari gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai  mencari seorang idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan  panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan  lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai  atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak  sih kalau saat ini banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life  style baru? Para bintang muda yang digandrungi ternyata mampu mengubah  style remaja.      Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat.  Idola atau tokoh akan mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita  sadari. Nah, di sinilah media      Namun, apakah benar bahwa media  sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya tidak seratus  persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memilah-milah  atau selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Karena, tidak  bisa dimungkiri bahwa keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada  suatu sisi media memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita,  penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya  hadirnya media berpengaruh positif dan juga negatif.      Keberadaan  media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau  kita tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban  media. tidak salah memang ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan  informasi dari media. Namun, yang perlu diingat, seberapa perlu produk  yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita memang membutuhkan produk  itu ataukah karena kita terpengaruh oleh iming-iming yang disampaikan  oleh media.    Remaja : Jangan memaksakan diri      
         Tidak  ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan  di media, dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu  mewujudkan impian itu. Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi  berbelanja membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita ingat,  jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode pakaian,  misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya kita  sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti tren  yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh kita. Pokoknya yang  penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima apa  adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa  menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain.       
sumber : http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Kolaborasi%20Gaya%20Hidup%20Remaja,%20Sastra,%20Media%20dan%20Internet&&nomorurut_artikel=249 
